Cerpen 'Tak Ada Lagi Kaus Panjang Abu-abu' Pernah Dimuat di Suara Merdeka, 12 Juli 2023

 Cerpen ini pernah dimuat di Suara Merdeka pada 12 Juli 2023. Bercerita tentang seorang lelaki yang tak memiliki baju selain abu-abu. Terdapat filosofi kenapa memilih abu-abu sebagai warna baju dalam kehidupan sehari-hari. Filosofi tentang htam dan putih kehidupan yang menyatu membentuk kekuatan agar kuat menjalani setiap kesendirian. 

Cerpen 'Tak Ada Lagi Kaus Panjang Abu-abu' Pernah Dimuat di Suara Merdeka

Cerpen yang pernah dimuat di Suara Merdeka

Aku ingat bahwa setiap pertemuan tak ada kaus panjang selain abu-abu yang kamu kenakan. Kaus tanpa kerah dipadu celana training hitam dengan garis-garis merah.

“Bagiku hidupku saat ini adalah abu-abu. Tak ada tempat yang dituju dan pulang, selain pada waktu,” katamu datar.

Langit di balik jendela masih sepenuhnya kelabu, sama seperti kaus panjang warna abu-abu yang kamu kenakan hari ini. “Berapa banyak kaus panjang abu-abu yang kamu punya?” kataku penasaran, tak adakah motif, bentuk, atau warna selain abu-abu yang dimiliki.

Kamu saat itu sibuk memandang langit yang mendadak didatangi mendung, seketika menatapku sambil tersenyum kecil, “Kamu berniat membelikanku kaus panjang selain abu-abu?” tanyamu balik sambil terkekeh.

Aku tertawa kecil, “Mana mungkin! jelas kamu lebih berduit daripada aku,”

Kamu malah menatap lurus ke arahku, lalu bibirmu membentuk senyuman tipis, “Datanglah ke rumahku jika kamu penasaran dengan jumlah kaus panjang yang kupunya,” kamu tersenyum simpul, “Becanda, kok. Hehehe. Semua kaus yang kupunya berwarna abu-abu, tak ada warna lain yang dapat mewakili hidupku selain abu-abu,”

Mataku terperangah. Langit tiba-tiba menjatuhkan rintik hujan yang menimbulkan bunyi tak tik tik di atap kafe, aku mengembuskan napas keras sambil menatap gerimis yang berebut berjatuhan, “Kenapa mendadak hujan, ish,”

“Ada apa dengan hujan? Bukankah lebih baik langit berwarna kelabu, daripada cerah yang menyisakan sesak dan panas,” tanyamu tiba-tiba, mendengar keluhku tentang kedatangan hujan yang tanpa berkabar sebelumnya.

“Tidak ada yang salah dengan hujan, hanya saja ia tak berkabar kedatangannya hari ini,” gerutuku tetap memandang awan tipis berwarna kelabu.

Baca Juga: Neton Tak Cocok Nekat Menikah?

Udara ruangan kian bertambah dingin, angin yang dibawa hujan gegas masuk ke celah-celah jendela kafe, menyapa bahwa hujan akan datang agak lama. Cangkir di mejamu yang dasarnya berkerak kecoklatan telah habis tanpa sisa. Aku memandangmu diam-diam masih sibuk menatap lekat butiran air hujan yang terjatuh, menimbulkan percikan air di lantai.

“Kamu sehat?” tanyaku tiba-tiba, entah kenapa sorot matamu seolah menyimpan rasa lelah, pertanyaan tentang kondisimu pun muncul begitu saja.

Kamu mengalihkan pandangan ke arahku, lalu menunduk pelan tanpa menjawab pertanyaan. Aku membiarkanmu tak memberikan jawaban. Hampir sepuluh menit berlalu, kamu memalingkan wajah ke arah hujan yang makin tebal, angin memberontak ikut menjadi bagian cuaca mendung dan dingin hari ini.

Tiba-tiba terdengar isakan lirih, aku berusaha mencari sumber tangisan. Kutatap sepasang kekasih yang duduk dekat meja kasir, keduanya terlihat sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu beralih ke arah ibu muda yang menyuapi dua anaknya, ia tampak kerepotan karena keduanya berselisih tentang siapa duluan yang mendapat jatah suapan sang ibu. Ah, tak terlihat raut wajah sedih, apalagi tangisan.

Kudengar lagi dengan saksama, isakan itu malah semakin terdengar jelas. Aku beralih menatapmu yang kembali memandang langit kelabu, seolah keberadaanku antara ada dan tiada.

“Akhirnya setelah empat tahun menunggu, kudengar pertanyaan itu,” ujarmu lirih tanpa berniat menatapku.

“Ada yang salah dengan pertanyaan itu?” tanyaku balik. Bukankah pertanyaanku sebenarnya hanya bisa dijawab dengan ya dan tidak, kenapa justru malah pernyataan lain yang kudengarkan.

“Pertanyaanmu tak salah, hanya jawabanku yang terlalu filosofis,” jawabmu tersenyum simpul. Lalu kusodorkan tisu agar kamu bisa mengusap air mata yang terjatuh tiba-tiba, sama seperti hari ini, hujan datang tanpa berkabar sebelumnya.

Aku baru pertama kali melihat seorang lelaki menangis. Sosok yang kuat itu rapuh hari ini, rapuh hanya karena pertanyaan sederhana. “Mungkin setelah ini aku akan punya alasan dan tempat untuk pulang,” ujarmu dengan sorot mata kosong.
“Bukankah kamu memang punya rumah, masih punya orang tua?” tanyaku dengan polosnya. Setelah mengenalmu hampir enam bulan ini, aku jadi tahu bahwa kamu terlampau sibuk di tanah rantau, dan tak sempat untuk pulang.
Meskipun jarak ke kampung halaman hanya menempuh dua jam perjalanan, namun kamu terbiasa pulang sekali dalam setahun. Hanya demi pertemuan sesama penulis di kota ini, kamu mulai menyempatkan diri pulang sekali seminggu. Atau jangan-jangan hanya karena keberadaankulah yang membuatmu selalu ingin pulang ke kampung halaman?
“Punya, rumah orang tua,” jawabmu menatapku tanpa berkedip. “Selama aku mengenal berbagai perempuan, baik cantik, dewasa, bahkan menarik, baru kali ini aku merasa diperhatikan, terimakasih,” kamu tersenyum tulus kepadaku.
“Hanya karena pertanyaan itu kamu menangis?”

"Ya, sederhana bukan, tapi sebenarnya tak ada yang peduli dengan kehidupanku selain hanya dengan uangku dan masa depan yang menjanjikan saat mereka memilih hidup denganku,” butiran air mata itu kembali terjatuh pelan, aku buru-buru mengambil tisu dan mengusapnya.

Hujan kali ini mulai tak terdengar ribut, aku memandang ke luar jendela. Benar saja, angin tak lagi berebut masuk ke dalam kafe, langit yang sejak tadi berwarna abu-abu telah terganti awan tipis yang datang menggantikan mendung.

“Datanglah ke rumahku sesekali, akan kuceritakan kepadamu betapa hidupku berserah pada waktu dan Tuhan yang selalu menunggu kehadiranku,”

“Aku belum siap bertemu orang tuamu, kita tak ada hubungan yang spesial,” tolakku halus.

“Hidupku dibesarkan dari alam, sejak kecil aku tumbuh dari rasa sakit dan ditinggalkan,” kamu menghirup napas panjang lalu mengembuskannya pelan, “Tak ada warna lain di hidupku selain abu-abu. Hitam dan putih yang menyatu membentuk kekuatan agar kuat menjalani setiap kesendirian,”

Aku kehabisan kata, membiarkan pertemuan hari ini seperti isyarat bahwa langit di hidupmu masih berwarna abu-abu. Entah suatu hari bakal ada warna berbeda, yang jelas raut wajahmu mulai tumbuh semu merah di pipi saat mengelus pelan kepalaku sambil mengucapkan terimakasih dengan tulus.

***

Setelah hampir tiga pekan tak bertemu, karena kesibukan yang memaksamu tinggal lebih lama di tanah rantau. Hari ini minggu pagi yang berbeda. Aku ingat bahwa setiap pertemuan tak ada kaus panjang berwarna selain abu-abu, tapi hari ini sudah ada motif garis biru putih di balik warna dasar abu-abu.

Baca Juga: Rekomendasi Kafe yang Cocok untuk Baca Buku

“Tumben hari ini kaus panjang tak lagi berwarna abu-abu,” ejekku menyapamu yang lebih dulu datang dan duduk di ruang baca perpustakaan. Menunggu teman lain berkumpul.

Kamu menyambutku dengan senyuman, “karena sudah ada kamu,” jawabmu ringan.

“Ha?” jawabku terhenyak kaget. Aku merasakan kedua pipi mendadak hangat, lalu berpura-pura memandang ke arah lain agar tak kelihatan kalau sedang salah tingkah.

Semenjak pertemuan hari itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getaran jantung di kala kita bercakap melalui pesan singkat. Seolah pertanyaan sederhana itu membuka jalan untukmu lebih terbuka kepadaku.

Setelah pertemuan lalu, aku juga baru memahami kehidupanmu dan pertanyaan sederhana yang mungkin membuat kita saling menumbuhkan benih-benih rindu dan debar di dada.

Kamu sejak kecil tinggal sendiri di rumah kampung halaman, orang tuamu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Hanya meninggalkan kartu ATM dan rumah untukmu pulang. Kamu memang benar-benar membutuhkan perhatian, meski hanya sekadar tentang kesehatan.

“Jika kamu membutuhkan perhatian dan kasih sayang, datanglah ke rumahku. Aku berlimpah kasih sayang, karena aku si bungsu yang juga ingin berbagi perhatian, berbagi warna bahwa hidup tak selalu berwarna abu-abu,” kataku tersenyum menatapmu.

            ***

            Hangudi, Agustus 2022

Post a Comment