Cerpen berjudul Neton ini pernah dimuat di Minggu Pagi, delapan tahun lalu. Sudah cukup lama bukan, tapi di postingan ini aku hanya ingin mengarsipkan karya yang pernah dimuat media untuk bisa dibaca di blog.
Cerpen ini sebenarnya terinspirasi dari tetangga yang sering cekcok dengan saudaranya sendiri, bahkan kadang bisa saling mengacungkan golok. Ngeri, kan. Beberapa percakapan tentang mitos neton yang sama juga pernah kudengar dari ibu.
Intinya selamat membaca dan bernostalgia dengan tradisi masa lalu :-D
Cerpen di Minggu Pagi, 11 Oktober 2015
NETON
ORANG yang dilahirkan pada neton Wage,
pertanda orangnya sugetan, sifatnya yang kaku, suka marah-marah.
Ah, neton wage itu pertanda perilaku buruk, berbeda dengan neton Legi
karena kebaikan yang mendominasi perilaku orang yang dilahirkan pada neton ini."
Aku
tersentak ketika emak yang sedikit mengerti perihal neton mengatakan
padaku. Dan Selasa Wage hari kelahiranku dna juga kakak laki-lakiku. Mungkin
pernyataan yang disampaikan emak sedikit benar. Mudah marah dan
agak kaku dalam bersikap mendominasi perilakuku, begitu juga dia yang terlahir
dengan neton yang sama. Tak ayal kalau kami berdua kerap bertengkar
meski di usia ysng buksn snsk kecil lagi.
Istilah neton ini
sepertinya memang masih mendominasi di masyarakat Jawa. Bahkan ada juga yang
masih membikin jenang abang pada neton sang anak.
"Jika ada orang yang meninggal Selasa Kliwon, maka kain mori orang yang telah dikubur di tanah akan diincar beberapa maling sebagai ajimat. Makanya terkadang ada beberapa keluarganya yang menunggu di makamnya setiap malam agar tidak dicuri orang sampai hari ke tujuh."
"Jika
ada orang yang meninggal Sabtu Wage, maka pada hari itu juga akan ada lagi
oranng yang akan menyusul. Meninggal. Maklum saja, age-age kan
cepat-cepat, jadi mungkin istilahnya ada yang cepet-cepet nyusul mati."
"Kata
orang zaman dulu, jangan beritahu neton-mu kepada sembarang orang, atau
kau memang menginginkan disantet atau perihal perdukunan lain." Perkataan emak terakhir
membuatku sedikit ngeri. Apa hubungannya neton dengan ilmu
perdukunan? Ataukah ini berkaitan hal mistis dan gaib tradisi Jawa yang masih
kental?
Meski masih
ada beberapa lagi mitos Jawa zaman dulu yang membuatku penasaran, emak menghentikan
penjelasannya saat deru motor yang sangat kukenali itu tampak terdengar dari
seberang jalan dan mulai memasuki jalan masuk ke rumah.
Ya, aku
semakin tak menyukai wajah oval itu dengan pipi cekung, semenjak pernikahan
sederhana dilangsungkan beberapa bulan lalu. Seringainya aneh dan terasa
ganjil. Garis-garis wajahnya entah kenapa semakin terlihat mengerucut,
menampilkan beban serta keceriaan yang silih berganti dan saat menatapku tampak
cahaya kebencian terpancar jelas, seolah aku seperti mangsanya.
"Selasa Wage, jam tiga pagi. Ya, kalian berdua dilahirkan dengan neton dan waktu yang sama. Jadi tak heran kalau kalian bertemu dalam satu tempat, pertengkaran baik sepele atau agak besar akan terjadi."
Aku sungguh
tak mengerti apa yang dikatakan emak sore itu, padahal aku hanya
menanyakan kenapa kami berdua selalu bertengkar, kenapa dia selalu terlihat
snagat membenciku padahal kami berdua dilahirkan pada rahim yang sama? Kenapa,
dan kenapa? Pertanyaan itu berputar-putar dalam kepalaku setiap saat, dan entah
kenapa aku semakin hari malah semakin membencinya.
Mungkin kami berdua ibarat kutub yang sama lalu saling bertemu, tentu akan saling tolak-menolak, tentu akan saling menjauh. Ibaratnya lagi, jika aku kutub positif, dia kutub positif.
Bila aku menjadi kobaran api, tentu dia juga menjadi apinya atau minimal menjadi bahan bakar seoerti bensin atau minyak tanah untuk menyulut api, bukan menjadi air yang dpaat meredam kobaran api itu. Dan emak selalu menjadi air yang menduhkan api kedua anaknya.
"Aku
hanya benar-benar tak mengerti, Mak. Apa salahku?" Kataku lirih sambil
mennopang dagu dengan kedua lenganku di atas lutut.
Emak yang sedang menjemur pakaian
hanya memandangku sekilas, tak menggubris ucapanku yang datang tiba-tiba,
mengeluhkan pertengkaran yang seringkali terjadi sambil menghela napas panjang,
dan emak kembali menjemur pakaian di sebuah tali simpul yang
terbentang di halaman rumah.
Udara pagi
menebar gigil semakin beranjak pergi, berganti dengan terik yang mulai
mengintip dari segerumbul awan putih yang bergerak lambat. Cahaya terang
berlompatan dari kerumumn daun-daun rimbun yang bertengger di pepohonan.
Baca Juga: Cerpen 'Aku Ingin Menukar Nasib' Dimuat di Radar Mojokerto
Menjadi anak bungsu berarti juga harus siap mengalah, siap untuk menerima apa-apa saja yang menjadi sisa semua saudara dan siap menerima sisa kasih sayang emak untukku.
Ah, mungkin keterlaluan jika aku menganggap kasih sayang emak tinggal
sisa atau bekas dari ketiga saudaraku,namun nyatanya aku selalu disuruh untuk
mengalah ketika pertengkaran dengannya kembali tersulut.
***
"KUPERINGATKAN sekali lagi, jika kau melahirkan
anak jangan ada dari mereka memiliki neton yang sama, atau kau
memang menginginkan pertengkaran menjadi keseharian mereka sampai mati."
Aku
tergagap bangun dari tidur, napas kembang-kempis dan keringat bercucuran di
kening. Aku menghirup napas pelan, lalu menghembuskannya lega. Entah kenapa
mimpiku malam ini begitu buruk, padahal sebelum tidur tak lupa doa-doa
kupanjatkan. Dan bisikan suara yang mengerikan tadi menyelinap dalam
sayup-sayup telingaku.
"Na,
Ina! Cepat bangun, Mbak Juli ketusuk pisau!" Emak mengetuk pintu
kamarku dengan keras, menggebrak-gebraknya agar aku segera terbangun.
Mbak Juli?
Bukankah Mbak Juli itu kakak sepupuku yang sudah lama tak pulang karena bekerja
di luar negeri. Dan minggu-minggu ini memang sedang berada di rumah, namun
kabar terakhir yang kudengar dari emak, Mbak Juli bertengkar dengan
Mas Joni, adiknya. Pertengkaran disebabkan masalah warisan yang belum beres.
Sebelum
Mbak Juli ke luar negeri, memang pernah terjadi hal semacam itu. Bahkan Mas
Joni pernah mengacungkan golok ke arah Mbak Juli. Aku melihat dengan mata
kepala sendiri.
"Mak,
apa mereka terlahir dengan hitungan neton yang sama?"
tanyaku lirih ketika emak yang sedang tergopoh-gopoh berganti baju
untuk ikut melihat Mbak Juli, kuhadang sebentar.
"Ya,
mereka dilahirkan Rabu Wage jam dua belas malam.
***
*Pernah dimuat di surat kabar
"Minggu Pagi" Edisi Minggu, 11 Oktober 2015
Posting Komentar