Cerpen Alfa Anisa, Lelaki Tua yang Takzim ke Mbah Yai: Republika, 11 Oktober 2022
Ini masih cerita tentang Mbah Muh.
Lelaki tua yang merawat piring-piring kotor sebagai salah satu cara
membersihkan dosa-dosa di masa lalu. Ketika pesantren mengadakan acara, Mbah Muh
selalu diminta datang untuk membantu mencuci piring-piring kotor. Dengan bekal
sepatu bot, Mbah Muh selalu sigap dalam bekerja. Membuang sisa-sia nasi dan
lauk ke dalam baskom, merendam
piring-piring kotor lalu menyiapkan
sabun, dan bak besar
berisi penuh air sebagai bilasan terakhir.
"Mbah Muh, monggo diminum dulu
tehnya!" Kataku menghidangkan segelas teh dan kerupuk dalam toples diatas
meja kecil, dekat
tempat cuci piring.
Mbah Muh yang masih fokus membilas
piring, sontak menatapku kaget. "Lah, kok ya repot-repot to, Nduk.
Makasih, ya!" Jawabnya tersenyum.
Aku balas mengangguk lalu beranjak
pergi. Kulihat
dari sudut dapur pondok kerumun mbak-mbak santri saling menyeka air mata dengan
punggung tangan, ada juga yang saling berpelukan meminta dikuatkan. Saat
kuamati lebih teliti tatapan
mereka ke arah Mbah Muh yang sibuk mencuci piring. Tadi aku sempat mengintip
tangan Mbah Muh sedikit pucat karena terlalu lama terendam air. Jemarinya yang
telah keriput jadi tampak layu.
Sejak acara 40 hari wafatnya Mbah Yai, Mbah Muh telah bekerja keras menunaikan tugasnya mencuci piring. Di sela-sela bekerja, beliau selalu menyempatkan sejenak membaca tahlil di makam Mbah Yai. Dan yang membuat kami mengelus dada takjub, setiap adzan sholat berkumandang beliau selalu bergegas pulang, meninggalkan semua pekerjaannya. Konon katanya, Mbah Muh tak pernah absen menjadi muazin di musholanya, sebagai salah satu cara merawat sembahyang di awal waktu.
Baca juga: Cerpen di Republika, Ia Terus Memungut Daun-daun Kering
Malam ini tugas Mbah Muh telah usai, piring-piring kotor dan beragam peralatan di dapur telah dibersihkannya. Berjajar rapi di paving terbuka dekat tempat cuci piring. Esok hari kami tak akan lagi melihatnya, beliau akan kembali beraktivitas seperti semula. Menjaga mushola dan merawat sepetak sawahnya.
Pada
malam
yang terakhir
Mbah Muh bekerja, Mbak Di diberi amanat Ibu Nyai untuk memberikan upah mencuci
piring dan berkat kepada Mbah Muh.
"Mbah Muh, ngapunten. Ini ada
titipan dari Ibu Nyai buat Mbah Muh. Semoga bisa diterima," kata Mbak Di penuh kelembutan, beberapa
jam lalu dia telah belajar merangkai kata-kata untuk melakukan hal ini.
Mbak Di menyerahkan satu kantong
kresek hitam yang berisi makanan dan amplop putih kepada Mbah Muh. Aku dan
teman-teman yang lain mengintip dari jauh, duduk berkerumun di bawah jendela
kantor, menguping
pembicaraan. Ada yang bilang Mbah
Muh tak mau dibayar jasanya saat
mencuci piring. Jika dipaksa menerima, maka uang itu akan dimasukkan ke
kotak amal mushola atau diberikan anak-anak yatim.
Lusi yang duduk di sebelahku
terdengar terisak pelan. Kami berdebar tak sabar menunggu reaksi Mbah Muh. "Jika
Mbah Muh tak mau menerima, terus setiap hari makan apa?" tanya Lusi dengan suara gemetar. Aku
juga menyimpan pertanyaan yang sama seperti Lusi.
"Mboten usah dikasih berkat.
Nanti nggak ada yang makan, loh. " Tolak Mbah Muh halus saat tangan Mbak
Di menyerahkan
kantong kresek
hitam, menunggu
diterima.
Baca juga: Resensi Novel Mencarimu
Raut wajah Mbak Di sontak linglung.
Dia sudah diberi amanah Ibu Nyai jadi harus dilaksanakan, tapi ternyata Mbah
Muh menolak pemberian.
Mbak Di takut
amarah Ibu Nyai jatuh kepadanya,
yang
bisa membuat barokah
seorang guru berkurang.
Dengan raut wajah panik, Mbak Di
menyerahkan amplop putih yang berisi uang kepada Mbah Muh. Berharap segera
diterima dan kewajibannya akan segera usai. "Emm. Ngapunten, Mbah
Muh. Saya sudah diamanahi Ibu Nyai. Mohon diterima, nggeh." Pinta
Mbak Di dengan sedikit terbata-bata.
"Lah, apalagi ini. Nggak usah, Nduk.
Saya melakukan ini semua untuk kebaikan dan ketulusan Mbah Yai menuntun Mbah
Muh mendapatkan jalan yang lebih baik,"
sorot
mata Mbah Muh seperti menerawang jauh. Masa lalu. Terdengar suaranya juga
sedikit bergetar, barangkali teringat kebaikan Mbah Yai kepadanya.
"Niki mawon, Mbah, tolong
diterima!" Ujar Mbak di masih kukuh.
"Mbah Muh nggak bisa menerima,
maaf ya, Nduk.
Hehe. Maaf Mbah mau pulang dulu," jawab Mbah sambil melepas sepatu bot dan
menggantinya dengan sandal jepit lalu beranjak pergi.
"Loh, Mbah!" Mbak Di mengejar langkah Mbah
Muh yang beranjak pergi
dengan menenteng
sepatu bot. Tiba-tiba Mbah Muh berhenti sebentar, menatap Mbak Di yang
mengikutinya dari belakang. Lalu kulihat tatapan Mbah Muh tertuju ke arah makam
yang terletak di belakang masjid. Makam Mbah Yai.
"Ehm, gini aja, Nduk.
Daripada kamu bingung
karena merasa telah diberi amanah Ibu Nyai. Akadnya begini saja, anggap uangnya sudah saya terima. Tapi, Mbah Muh
titip uang itu tolong berikan kepada Ibu Nyai buat pembangunan makam Mbah Yai.
Biar bisa buat ziarah santri-santri
dan masyarakat sekitar." Ucap Mbah Muh tersenyum tulus.
"Eh, enggeh Mbah."
"Ya sudah, tak pulang dulu.
Makasih ya, Nduk. Assalamualaikum." Pamit Mbah Muh berlalu pergi.
"Waalaikumsalam," jawab Mbak Di masih terpaku menatap
kepergian Mbah Muh.
Kami yang sedari tadi menguping pembicaraan seperti
menahan napas. Lalu menatap langkah Mbah Muh yang bergerak menjauh. Tubuhnya sedikit
bungkuk ke depan terlihat bergegas pergi keluar gerbang, beban berat selama ini
sperti dipikul di pundaknya yang semakin terlihat ringkih. Setelah sosok Mbah
Muh hilang dari pandangan, kami saling bertatapan. Diam.
Baca juga: Cara Membuat Resensi Buku
***
Mbak
Di masuk ke kantor pondok dengan wajah bingung. Antara sedih, kaget dan bingung
bercampur jadi satu. "Mbah Muh nggak mau menerima uangnya," curhat Mbak Di, sambil duduk
bersandar di dinding.
"La jelas. Itu sudah nazarnya
Mbah Muh. Jadi nggak mungkin mau menerima." Celetuk Mbak Atul yang tiba-tiba
datang dan ikut duduk berkerumun di kantor. Mbak Atul adalah santri
senior, hampir sepuluh tahun dia nyantri
sekaligus mengabdi di pesantren
ini. Orang-orang
yang tinggal di sekitar pondok pesantren pun telah dianggap seperti tetangganya
sendiri.
Kami menatap Mbak Atul, menunggu
ceritanya. Sadar dirinya diperhatikan, Mbak Atul menghela napas panjang, lalu
memulai cerita. "Dulu Mbah Muh adalah preman, lalu merantau ke Kalimantan
bersama keluarganya. Berharap ada pekerjaan, tapi ternyata tak ada yang bisa
dikerjakannya yang tak memiliki ketrampilan apapun. Akhirnya beliau memilih pulang ke Jawa, tapi
keluarganya menetap di Kalimantan. Di Jawa ternyata masih sama, beliau kembali
menjadi preman."
"Beneran jadi preman?" Lusi
kaget dengan cerita Mbak Atul.
"Iya, cerita Mak Ni yang tinggal
dekat mushola Mbah Muh begitu,"
jawab
Mbak Atul sambil
menarik napas panjang. "Saat itu Mbah Yai sering jalan-jalan ke terminal, berbincang banyak hal dengan para preman dan
orang-orang di sana. Saling menyapa dan berbasa-basi. Konon katanya semua preman di terminal sungkan dengan Mbah Yai.
Termasuk Mbah Muh. Dan saat itu Mbah Muh
seolah menemukan jalan hidayah
lewat
Mbah Yai. Dan begitulah, bertobat adalah pilihan."
"Nazarnya apa?" tanyaku
menyela, tak sabar dengan cerita Mbak Atul.
"Sebentar, to. Tak
lanjutin dulu. Setelah tobat dan mencari pekerjaan yang lebih baik, Mbah Muh
kembali ke Kalimantan. Ternyata kesetiaan istri tak lagi berpihak kepadanya.
Telah memiliki suami lagi tanpa pernah bertanya atau meminta pendapat kepadanya
karena memang puluhan tahun Mbah Muh tak memberi kabar dan lalai dari tanggung
jawab memberi nafkah lahir batin kepada
keluarganya. Akhirnya Mbah Muh kembali lagi ke Jawa."
"Nazarnya?" tanya Mbak Di
penasaran.
"Nazar Mbah Muh sederhana. Membersihkan piring-piring kotor sebagai salah satu cara membersihkan dosa-dosa di masa lalu. Kotoran yang menempel seperti dosa-dosa yang melekat di hatinya yaitu piring. Mbah Muh bernazar tak mau menerima upah hasil mencuci piring. Jika dipaksa maka dia akan memberikannya kepada anak-anak yatim."
"Subhanalloh," jawab kami
serempak.
"Dan kalian tahu, pagi ini aku
lihat di jalan raya depan makam, Mbah Muh begitu takzim kepada Mbah Yai."
"Ha?"
"Coba besok pagi kalian lihat
saja sendiri."
Baca juga: Akhirnya Kerja Keras Menulis Dapat Hasil Memuaskan di Lomba Ini
***
Jadwal
piketku pagi ini adalah menyapu paving dekat makam Mbah Yai. Saat kutengok ke
arah jalan raya, kulihat Mbah Muh naik sepeda dari kejauhan. Menyapu kuhentikan
sebentar, mengintip Mbah Muh dari balik celah pagar. Teringat cerita Mbak Atul
kemarin malam, aku ingin membuktikan
kebenarannya.
"Loh!" Pekikku lirih,
terkejut sambil menutup mulut,
khawatir terlalu kencang yang
membuat orang-orang curiga. Kulihat Mbah Muh tiba-tiba turun dari sepeda
tepat di jalan depan makam lalu menuntunnya pelan. Sesekali menatap makam Mbah Yai
dari balik pagar dengan binar mata sayu. Sedih.
"Benar kata Mbak Atul. Mbah Muh
takzim sekali kepada Mbah Yai." Kata Lusi yang tiba-tiba sudah berdiri di
dekatku. Sama-sama saling menatap kepergian Mbah Muh.
Sepeda kembali dinaiki setelah berada
di batas ujung makam,
sekitar 20 meter. Tepat di
garis batas rumah tetangga. Aku mengelus dada, seperti tamparan
keras kepadaku sebagai santri.
"Masya Alloh!"
Aku segera duduk karena teringat
masih berdiri di dekat makam
Mbah
Yai. Mbah Muh saja yang berada lebih jauh dari makam Mbah Yai segera turun dari sepeda dan menuntunnya, sedangkan aku malah berdiri.
"Ngapunten, Mbah
Yai."
***
Juni 2020
Posting Komentar