Cerpen 'Aku Ingin Menukar Nasib': Dimuat di Radar Mojokerto, 13 November 2022

Cerpen 'Aku Ingin Menukar Nasib' yang dimuat di Radar Mojokerto ini merupakan salah satu cerpen yang terinspirasi dari kisah nyata dua orang mahasiswa yang sedang mengalami dilema selepas kuliah. Setiap saat yang dibicarakan hanyalah tentang bagaimana mendapat pekerjaaan dengan cepat, sedangkan kota kecil ini layaknya tempat istirahat, tak cocok untuk anak-anak muda yang ingin berkarya dengan gaji luar biasa. 

Meskipun based on true story, di bagian dilema mahasiswa selepas kuliah, tapi masih ada bumbu fiksinya. Dan dari cerpen ini aku juga belajar tentang bagaimana cara mengambil sudut pandang orang lain. Jadi, aku memposisikan diri sebagai mereka si mahasiswa yang dilema itu. 

Meskipun agak susah, karena baru pertama kali bikin cerpen yang sudut pandangnya bukan aku sendiri, tapi ya namanya belajar, pelan-pelan aja dulu. 

Mungkin itu aja pengantarnya, sekadar basa-basi doang. Dan cerpen ini boleh loh dikritik, ditanggapi, atau dikasih komentar apa gitu, tenang aja aku terbuka terhadap semua pendapat, kok. :-D

Cerpen di Radar Mojokerto, 13 November 2022


 Aku Ingin Menukar Nasib

Sore itu, awal bulan yang kelabu. Aku kembali duduk di ruang tamu ini, mendengarkan petuah-petuah yang hanya singgah sebentar di kepala, lalu keluar seenaknya. Sepasang suami istri di depanku terus saja menyusun kata-kata, membicarakan nasibnya. Samar-samar kulihat kobaran api mengepul tipis bersamaan nasihat yang terus saja menguap ke udara. 

“Kota ini tak menawarkan kenyamanan untuk anak-anak muda. Merantaulah jika ingin kaya,” kata-kata itu kembali terdengar lagi, aku hanya membalas dengan dengusan. 

Di kepalaku masih tumbuh beban yang setiap hari bertambah semenjak ibu menanyakan kapan beban di pundaknya bisa dibagi denganku. Ah, sepasang suami istri ini tak akan pernah mengerti bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah solusi cepat mendapat uang. Bukan petuah yang menambah beban. 

“Tapi, saat ini keluargaku butuh uang dariku, bukan perkara aku harus pergi dari kota ini,” gerutuku memandang mereka berdua dengan sorot mata gelisah. 

“Jika ingin mencari uang, kamu pasti dapat. Tapi, bersiaplah untuk lebih lelah,” sahut sang suami tersenyum sinis, aku merasa seolah ia tahu segalanya. 

Aku menatap keduanya dengan sorot mata lelah, ingin menyalahkan nasib yang tak kunjung berpihak kepadaku. Jauh berbeda dengan keduanya yang lebih beruntung. Gemerisik angin yang bersembunyi di antara bunga-bunga di teras rumah menyentuh ujung jilbabku, membelah udara sejuk musim penghujan tahun ini yang datang tanpa kabar seperti biasa. 


Aku menghela napas panjang, kesedihan yang bercampur kegelisahan telah berkerak di rongga dada. Beban berat mencari pekerjaan seolah telah tumbuh membesar di tubuhku. 

“Kota ini sudah terlanjur dihuni orang-orang tua yang terus saja meminta pengakuan dan memperkaya diri, kota ini hanyalah tempat ternyaman untuk beristirahat bukan untuk berjuang dan bertekad,” pesan itu terekam jelas di telinga selepas aku memutuskan berpamitan. 

Setelah dari rumah yang kuanggap sebagai tujuan disaat kecamuk pikiran berjejalan di kepala, hari ini, aku tak ingin berniat langsung pulang ke rumah. Aku hanya ingin sebentar saja menghindari pertanyaan serupa benih menumbuhkan beban itu bertambah besar. 

Pertanyaan ibu yang jawabannya selalu kugantungkan di depan pintu kamar. Jawabannya sederhana, ‘kenapa bapak nggak kerja,’.

Ibu memang memilih menikah lagi semenjak bapak kandungku telah meninggal beberapa tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SMP. Tak banyak yang berubah, hanya saat itu aku merasakan perhatian lebih banyak tercurah dari kakak sambung, namun semenjak ia menikah, aku menjadi anak tunggal yang kehilangan arah.  

Aku ingin mengutuk nasib, menyalahkan takdir yang tak pernah memihak. Ketika bapak sambung yang diharapkan bisa menjadi tulang punggung, nyatanya ia hanya serupa tulang lunak yang hidupnya hanya menumpang, dan ibu dengan sukarela menggantikannya. Sesak kembali memenuhi rongga dada, awan mendung yang telah menggantung sejak pagi mendadak menjatuhkan gerimis. Lagi-lagi aku mengutuk nasib hujan yang tak menunggu sebentar saja ketika aku sudah di rumah. 

Motor kuparkir di depan emperan ruko yang telah tutup. Aku memilih duduk di atas jok. Tak ada matahari cerah hari ini, hanya sinar kelabu yang menjadi pengantar di awal pekan. Mendadak aku teringat Ana, bagaimana kabarnya? apakah dia sudah menemukan pekerjaan? Ana adalah sosok teman berbagi bebanku saat ini yang sedang berjuang mencari pekerjaan. Kami sama-sama tak ingin merantau karena alasan tak mendapat izin, tapi jika masih saja di kota ini, kami tak akan mendapat karir yang diimpikan.


Namun, di balik keluarga seorang perantau dari Kota Jember yang orang tuanya telah berpisah, kurasa nasib Ana jauh lebih beruntung daripada aku. Ia terlahir cantik, memiliki tinggi yang lumayan dilirik para lelaki, berbeda denganku yang 145 cm saja tak sampai. Aku pernah mendengar bahwa kecantikan yang diidamkan seorang lelaki selain parasnya adalah tinggi seorang perempuan. Ah, aku paling kesal jika kriteria berpenampilan menarik selalu yang diutamakan dalam mencari pekerjaan. 

“Huft!” desahku panjang yang tak sengaja terdengar begitu keras, sontak orang-orang di sekeliling menatap tanpa ekspresi, aku hanya membalas dengan cengiran. 

Hujan begitu riuh seperti tetabuhan menyambut nyeri  yang terus saja tumbuh membesar. Teringat hari terakhir bertemu Ana, dua hari lalu ia mengatakan tentang nasibnya yang tak jauh berbeda, tapi aku tahu pikirannya masih waras dengan banyak membaca. Ia bahagia dengan buku-buku, lalu aku? Membaca nasibku sendiri saja membuatku tak ingin. 

“Aku harus tetap waras di tengah kehidupan kota kecil yang masih mengunggulkan para pegawai negeri. Membaca buku adalah cara menjaga kewarasanku.” Katanya ketika kutanya apa yang membuatnya masih baik-baik saja di saat hari-hari terus menggeser layar ponsel, mencari lowongan pekerjaan. 

Hujan mulai berbaik hati menurunkan sisanya, gerimis tipis menjatuhkan diri dibarengi awan hitam yang telah berganti dengan langit putih bersih. Aku bergegas pulang, tujuanku saat ini adalah kamar yang hangat dengan selimut dan mimpi-mimpi bertukar nasib. 

Lima belas menit kemudian aku telah sampai rumah, mengibaskan jilbab dan lenganku yang sempat terkena sisa gerimis, lalu buru-buru masuk. Meskipun sudah menjelang maghrib, rumah ini masih saja sepi, hanya dengkuran bapak di depan televisi yang menambah kekesalanku. Ibu di jam segini masih belum pulang, biasanya ia masih bersiap-siap. 

Aku ingin bertukar nasib kepada siapapun yang mau menggantikanku, kegelisahan itu telah sampai puncaknya hari ini. Jikalau saja aku bisa menukar diri dengan sosok sepasang suami istri yang kudatangi tadi, pasti hidupku sudah bahagia. 

Berulangkali aku dan Ana bercerita tentang sulitnya mencari pekerjaan di kota ini, dan berulangkali juga pasangan itu memberi petuah bahwa tujuan pertama janganlah uang, tapi belajar kemampuan. Ah, bukankah uang jadi tujuan utama bekerja, tapi entah kenapa mereka terus saja mendebatku tentang hal itu. 

“Na, kamu sudah pulang?” suara ibu tiba-tiba sudah berada di depan pintu. Raut wajahnya terlihat lelah, garis keriput tampak memanjang di bawah kedua matanya. 


Aku yang sedang merebahkan diri di kasur, seketika duduk untuk menyambut ibu sambil tersenyum tipis. “Ibu baru saja pulang?” tanyaku mencoba memperhatikannya yang terlihat lelah.

“Iya,” ibu menghampiriku lalu ikut duduk di atas kasur, “kamu sudah makan? Ibu bawakan sayur lodeh kesukaanmu dari warung Mak Mul,” ujar ibu tiba-tiba yang membuatku sedikit heran dengan perlakuannya hari ini.

Aku mengangguk, lalu mencoba memijit lengan ibu, “Na, kamu sudah dapat pekerjaan? Ibu kena PHK,”

“Ha?” aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa selama ini ibu tak pernah menanyakan kabarku sudah mendapat pekerjaan lagi apa belum selepas aku bekerja di toko baju. 

Barangkali selama ini pertanyan tersebut hanyalah halusinasi pikiranku yang terbebani untuk lekas mendapaat pekerjaan. 

Kabar bangkrutnya pabrik rokok memang sudah kudengar jauh-jauh hari melalui postingan di media sosial, dan aku tak menyadari bahwa ibu juga menjadi salah satu karyawan yang di-PHK.

“Ibu tak tahu harus bercerita kepada siapa, maaf jika setelah ini ibu banyak merepotkanmu,” kata ibu terdengar isakan lirih juga bersambung di kalimat terakhir. Aku membeku. Bisakah aku menukar nasib dengan keberuntungan. 

***
Hangudi, 2022

Post a Comment