Judul: 𝙅𝙖𝙩𝙪𝙝 𝘾𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙋𝙖𝙙𝙖 𝘽𝙪𝙠𝙪
Penulis: 𝙍𝙖𝙛𝙞𝙛 𝘼𝙢𝙞𝙧
Penerbit: 𝙀𝙢𝙗𝙧𝙞𝙤 𝙋𝙪𝙗𝙡𝙞𝙨𝙝𝙚𝙧
Tanggal Terbit: 𝙅𝙪𝙣𝙞 2019
ISBN: 978-623-7143-48-2
Jatuh Cinta pada Buku menjadi buku kesembilan
yang kubaca sampai selesai di tahun ini. Memang akhir-akhir ini aku seperti
mengalami gejala ‘reading slump’ atau sebuah istilah untuk mengatakan sedang
jenuh dan malas membaca buku.
Entah apa penyebabnya kejenuhan membaca itu
datang tiba-tiba, tapi yang jelas akhirnya bisa menyelesaikan buku karya Pak
Rafif Amir ini sudah membuatku senang sekali. Apalagi bukunya tak terlalu
tebal, yang berisi tulisan ringan segala hal tentang buku, membuatku tak berpikir
terlalu keras. Cocok untuk tipe pembaca yang sedang terkena penyakit malas sepertiku.
Jatuh Cinta pada Buku terbit pada bulan Juni,
2019. Meskipun sudah lima tahun berlalu, setiap bab yang ditulis masih tetap relate dengan kondisi saat ini. Diawali dari ajakan untuk membaca buku, lalu Gerakan
Literasi Sekolah yang membuat penulis khawatir dapat membunuh minat baca siswa,
cara mengenalkan membaca pada masyarakat, buku cetak vs buku online, hingga
soal berbisnis buku.
Hampir secara keseluruhan aku sependapat
dengan tulisan terkait buku, pembaca, dan keresahan menjadi penulis di
Indonesia. Seperti halnya kebiasaan sebagai pembaca yang suka menandai kutipan penting dengan stabilo,
hobi menumpuk buku, menggagas klub buku jadi impian setiap pembaca agar ada
diskusi secara nyata, hingga soal berbagai tips tentang membaca.
Meskipun sebagian besar sepakat dengan tulisan
mengenai buku karena merasa relate dengan yang kualami, namun, ada dua
hal yang kurang sependapat. Dua hal itu soal cover buku, dan bab tentang ‘Penulis
dan Buku Bajakan’. Ah, tapi kata sebuah kutipan dalam buku ini tidak ada
kata jelek dari sebuah buku, katanya kan ‘Semua Buku Menginspirasi’.
𝑩𝒖𝒌𝒖 𝒃𝒂𝒈𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒍𝒉𝒂𝒎𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔, 𝒔𝒆𝒅𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒌𝒖 𝒋𝒆𝒍𝒆𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒌𝒓𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒕𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂. (𝑨𝒍𝒇𝒐𝒏𝒔 𝑻𝒂𝒓𝒚𝒂𝒅𝒊)
Soal Penulis dan Buku Bajakan, Kurang Sependapat
Buku ini memiliki jumlah bab sekitar 38, namun
tenang saja, setiap bab tak terlalu panjang, mungkin sekitar 1 hingga 2 halaman
saja. Setiap membaca satu bab ke bab yang lain, aku lebih banyak mengangguk dan
menyetujui karena berdasarkan pengalaman pribadi penulis
yang kukenal melalui sebuah FLP atau Forum Lingkar Pena di Jawa Timur.
Namun, tepat pada bab berjudul 'Penulis dan Buku Bajakan'. Aku sedikit mengernyitkan kening, ada bagian yang sepertinya tak sependapat karena tujuan menulis berbeda.
Aku menyadari bahwa menjadi penulis memang tak mudah, apalagi jika nantinya menghadapi resiko tulisan dijiplak orang lain, diplagiat sedikit atau secara keseluruhan. Bukankah wajar kalau kita mengutuk keras penjiplak, atau pembajak? Setidaknya memberi pelajaran bahwa dalam dunia literasi, penulis itu juga harus punya etika.
Sayangnya dalam buku ini dijelaskan bahwa kita
tak harus se-responsif itu ketika buku dibajak. "Tugas penulis,
menulislah. Jika dengan dibajak, pesan kita semakin banyak menginspirasi orang
maka bukankah itu yang kita inginkan?" (Hal 90)
Meskipun nantinya jika dibajak, mungkin buku
kita bakal laris terjual, dan membuat banyak orang terinspirasi, tapi seolah mewajarkan
buku bajakan itu beredar. Aku percaya bahwa pembaca yang baik selalu membeli
buku yang asli, sedangkan yang bajakan, barangkali dibeli oleh orang-orang yang
tidak tahu caranya menghargai profesi penulis.
Namun sayangnya tak semua orang menulis agar
menginspirasi banyak orang, atau mencerahkan. Seperti saya menulis karena punya
tujuan rasa senang, entah menginspirasj atau tidak, urusan pembaca saja. Tapi,
kalau dibajak bahkan diplagiat, yuk beri pelajaran bahwa hidup
itu ada aturan termasuk cara berkarya dan hidup dari buku bajakan itu tak akan
mendapat berkah.
Berbicara Bisnis Buku Hingga Tips Bagi Pecinta Buku
Beberapa pengalaman penulis sekaligus sebagai penjual buku juga dituliskan dalam
setiap babnya. Mulai dari penulis yang pernah memiliki pengalaman barter buku
dan barang, ide-ide soal buku agar digemari oleh berbagai lapisan masyarakat,
soal buku rongsokan vs buku loakan, kafe buku, hingga investasi buku jadi
investasi menjanjikan.
“Seorang teman menawarkan beberapa
barang miliknya untuk dibarter dengan buku. Ada Slayer, tas, sepatu, kerudung,
kain, kopi, hingga handphone.” (Hal 56)
Membaca bab tentang barter buku membuatku sedikit
terkejut, emang ada? Kok sepertinya menarik. Aku belum pernah mengalaminya,
mungkin cuma barter buku dan buku, tapi kalau tukar dengan barang sepertinya boleh
juga. Hehe.
Kalau berbicara kafe yang memiliki konsep
dengan buku, di Blitar sudah ada beberapa kafe yang punya konsep itu. Meskipun
saat aku berkunjung di kafe tersebut jarang sekali ada yang membaca buku, lebih
banyak menghabiskan obrolan dengan teman. Namun, setidaknya buku-buku tetap
hadir dalam ruang publik, entah barangkali nantinya bakalan tergerak untuk
dibaca.
Selain itu, juga membahas soal kebiasaan yang
sering dilakukan pembaca, mulai dari menumpuk buku, menandai kalimat penting
dengan stabilo, hingga soal menggagas klub buku. Ada berbagai tips yang sengaja dibagikan oleh
penulis agar pembaca bisa mendapat byku murah dan semangat untuk terus
membaca. Mulai dari tips hemat,
mendapatkan harga murah, hingga mengatasi kantuk.
Meskipun banyak insight baru yang kudapatkan dari buku ini, terlebih lagi setiap bab tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Namun aku kurang menyukai dengan cover buku. Mungkin saja cover ingin dikaitkan dengan impian penulis tentang kafe buku, tapi ada warna biru, hitam, ungu, dan pink ketika digabungkan kesannya menjadi tabrakan.
Apalagi letak buku yang berada di tengah, seolah tak menceritakan itu sebuah buku, hanya tumpukan kotak yang mungkin saja abstrak diletakkan diantara vas bunga dan secangkir kopi. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, buku ini cocok dibaca untuk kamu yang menyukai dunia buku. Atau bahkan kamu yang sedang memulai menyukai membaca sebagai salah satu cara memahami dunia perbukuan di Indonesia. ***
Posting Komentar