Melalui Baduy Craft, Narman Tingkatkan Ekonomi Masyarakat Adat

 

Sumber foto: Astra.com
"Pernah omzet tertinggi dalam satu bulan dapat Rp50 juta," ungkap pria yang sering mengenakan ikat kepala atau telekung berwarna biru tua dengan motif batik. Pakaiannya yang serba hitam konon katanya sebagai ciri khas suku Baduy Luar.

Pria itu bernama Narman, pemuda asal Kampung Marenggo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidmar, Kabupaten Lebak Banten yang membawa perubahan ekonomi Suku Baduy sejak mengenal bisnis online.

Suku Baduy dikenal sebagai masyarakat adat yang masih memegang teguh budaya leluhur. Mereka hidup dengan kesederhanaan memanfaatkan sumber daya alam di Pegunungan Kendeng. Sebagian besar masyarakat adatnya bekerja sebagai petani dan hidup dari perkebunan. Tak ada teknologi, listrik maupun internet yang diperkenankan masuk dalam wilayah adat khususnya Baduy Dalam karena ada aturan adat untuk tak bersinggungan dengan modernisasi.

Aturan tersebut berbeda dengan Baduy Luar yang masih diperbolehkan mengakses teknologi. Meskipun penggunaanya masih terbatas karena sinyal yang sulit didapat, tetapi Narman, pria yang berasal dari Baduy Luar tersebut berusaha memanfaatkan teknologi untuk membantu memasarkan produk lokal agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakat adat.

Bukan hal yang mudah karena adanya aturan adat yang melarang pergi ke sekolah, dan tidak menjalani sekolah formal. Namun, beberapa masyarakat Suku Baduy secara otodidak belajar membaca dan menulis. Salah satunya Narman, berbekal tekad dan ketekunannya memulai bisnis online sejak tahun 2016, penghasilan dari penjualan kerajinan tangan Suku Baduy mendapatkan omset 2 kali lipat dari biasanya. Bahkan dalam sebulan pernah mendapatkan Rp.50 juta. 

Awalnya Hanya Menunggu, Narman Inisiatif Membantu

“Saya melihat banyak penghasil kerajinan di sekitar saya yang kesulitan dalam menjual produk-produk mereka,” kata Narman dalam sebuah wawancara menceritakan kegelisahan saat dulu produk aneka kerajinan tangan milik orang-orang sekitarnya belum terjual secara maksimal karena harus menunggu pengunjung yang datang ke Baduy.

Narman menyadari bahwa kerajinan tangan yang dibuat oleh para pengrajin, terutama penenun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ada proses panjang demi menghasilkan kualitas yang sesuai harapan. Seperti halnya menenun bagi masyarakat Baduy menjadi kegiatan yang mempunyai nilai-nilai kehidupan seperti wujud kepatuhan terhadap adat dan tradisi, wujud kedisiplinan, serta ketekunan membentuk pribadi yang mandiri.

Perempuan Baduy sedang menenun. Sumber: Instagram @ayahriann

Namun sayangnya para pengrajin kesulitan memasarkan produk lokal, mereka hanya mampu menunggu, dan berharap hasil kerajinan laku.. Hingga akhirnya pria kelahiran 1 April 1989 memiliki inisiatif membantu dengan memanfaatkan teknologi dalam memasarkan produk lokal kerajinan tangan khas Baduy. “Tahun 2016 mulai membantu memasarkan produk lokal melalui online,” ungkap Narman.

Awalnya berbekal saran dari pengunjung saat mengikuti pameran Baduy Festival tahun 2016 bahwa dengan memanfaatkan internet untuk berjualan online dapat menjangkau pasar lebih luas. Narman akhirnya mulai belajar berbagai hal mulai dari website, media sosial, hingga marketplace yang diberi nama ‘Baduy Craft’. 

Baduy Craft, Harapan Kesejahteraan Masyarakat Adat

 “Tadinya sebulan hanya bisa menjual 5 sekarang sudah bisa 10 sejak dibantu Kang Narman. Sekarang bisa memberdayakan penenun lain, ada 2 orang yang membantu penenun,” kata Iis salah satu pengrajin kain Tenun dari Suku Baduy yang dikutip dari YouTube Tempodot.co.

Ada banyak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat adat semenjak Narman membantu memasarkan produk kerajinan serta kain tenun khas Baduy melalui online. Tak hanya mulai dikenal masyarakat awam, dengan terbentuknya Baduy Craft yang mengawali segala pemasaran kerajinan tangan khas Baduy di bidang online, beberapa anak muda Suku Baduy mulai terinspirasi membuka usaha dengan memanfaatkan teknologi dan internet.

Kolase foto instagram @baduycraft

Terbuat dari bahan alami, Narman berusaha tetap mempertahankan agar produk lokal yang dijual memiliki kualitas bagus. Apalagi produknya bukan yang dibutuhkan harian, tetapi produk ikonik yaitu hanya orang-orang tertentu yang punya selera terhadap seni.

Seperti halnya kain tenun Baduy yang memakai bahan benang katun, dan ditenun dengan alat yang masih tradisional. Selain itu juga masih mengunakan pewarna alami seperti ekstra daun tarum (Indigofera), yang diyakini tak akan luntur saat dicuci. Harga yang ditawarkan cukup terjangkau mulai 50 ribu hingga 1 juta. Fashion yang ramah lingkungan, apalagi kelembutan kain dari benang katun dapat menyerap keringat, jadi semakin menambah kenyamanan yang memakainya. Tetap bisa tampil modis dengan pakai produk dalam negeri.

Selain kain tenun Baduy yang memiliki 100 variasi motif dan telah dibentuk dengan beberapa macam fungsi, mulai dari selendang, sarung, syal, blanket, hingga ikat kepala. Ada pula tas koja terbuat rajutan kulit pohon, tas kepek terbuat dari pelepah pohon ‘Saray’ yang terdapat di hutan adat, hingga berbagai macam souvenir, mulai dari gelang handam, gelang teureup, cincing rotan, cangkir bamboo, dan lain-lain.

Baduy Craft menjadi harapan kesejahteraan masyarakat Baduy yang awalnya kesulitan dalam memasarkan produk lokal. Meskipun aturan adat tetap memberlakukan masyarakat hidup dan mencari penghasilan harus dari tanah adat, tapi semakin banyak populasi masyarakat, kebutuhan hidup juga semakin meningkat. Apalagi sumber daya alam pegunungan kian terbatas.

“Keluarga serta teman-teman saya banyak yang membuat produk kerajinan. Tetapi akses pasarnya terbatas. Makanya lewat Baduy Craft ini saya membuka pemasaran secara lebih luas,” kata Narman dalam zoom meeting bersama GNFI Academy

Selain memanfaatkan bisnis online, Narman juga mengikuti beberapa pameran untuk memasarkan produknya secara luas agar lebih dikenal oleh masyaakat. Tak hanya menjual produk kerajinan tangan saja, tapi saat pameran juga mengenalkan tentang suku Baduy yang masih merawat tradisi dan budaya unik dengan ketentuan adatnya.

Baduy Craft mengikuti pameran. Sumber foto: Instagram @ayahriann

Lika-liku Perjuangan: Dari Tak Direstui Ketua Adat, hingga Sinyal Susah Didapat

Lika-liku perjuangan ayah dari dua anak dalam memasarkan produk lokal bukan hal yang mudah, beberapa tantangan harus dihadapinya setiap hari. Tantangan itu mulai dari restu ketua adat yang awalnya sulit didapat karena adanya aturan yang tak memperbolehkan teknologi.. Hingga keberadaan listrik yang tidak ada di kampungnya, serta sulitnya sinyal untuk menjangkau pasar konsumen lebih luas.

Sempat Tak Direstui Ketua Adat

“Biarpun Narman sekarang berusaha menggunakan HP tapi Narman jangan lupa bahwa hal itu adalah suatu pelanggaran adat. Jadi gimana pun, usaha harus tetap jalan tapi harus ingat adat dan tradisi. Harus menyeimbangkan, jangan terlalu bebas.” Pesan Ailin, Tokoh Adat Kampung Marengo yang dikutip dari YouTube Tempodotco.

Pesan dari ketua adat senantiasa diingat oleh Narman yang awal mula memakai teknologi karena niat membantu masyarakat adat. Awalnya tak ada restu, bahkan dulu ia harus mengendap-endap saat menggunakan handphone miliknya sendiri. Menyembunyikan di dalam tas karena malu banyak orang di kampungnya yang belum punya. Tapi kini sudah berbeda karena sudah banyak masyarakat yang mulai ikut berbaur memanfaatkan teknologi

Meskipun aksinya mampu membawa dampak positif terhadap ekonomi masyarakat, Narman tetap menghormati ketentuan adat yang berlaku di tanah kelahirannya dengan tetap melihat sesuatu yang bisa dimaksimalkan sesuai peraturan adat. “Masyarakat adat tetap dengan adat dan tradisinya, tetapi secara bersama-sama mampu mencukupi semua kebutuhan,”cerita Narman dalam zoom meeting bersama GNFI Academy

Sinyal Susah Didapat, Listik Ditentang Adat

Kondisi alam Suku Baduy. Sumber: instagram @ayahriann

Rimbun pepohonan yang hijau menjadi sambutan pertama saat memasuki wilayah Suku Baduy. Udaranya yang sejuk, kicau burung saling bersahutan dan gemericik air sungai yang samar-samar terdengar, semakin menambah ketenangan saat berbaur dengan alam pegunungan.

Begitulah kehidupan masyarakat adat Suku Baduy atau juga dikenal dengan Urang Kanekes yang penuh kedamaian. Tak ada sinyal internet, ataupun aliran listrik yang bisa memasuki wilayah Baduy karena dilarang oleh aturan adat. Hal itulah yang menjadi tantangan tersendiri buat Narman. Tiap hari harus ia mengakrabi jarak yang jauh dengan berjalan kaki sekitar 2 km untuk mencari sinyal agar dapat menjalankan bisnis online-nya.

“Rumah saya kebetulan di kampong Marenggo yang waktu itu nggak ada sinyal. Gimana mau cek calon pembeli, harus turun dulu sekitar 2 kilometer,” ungkap Narman.

Membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dari Kampung Marenggo ke Ciboleger, ia juga menghadapi tantangan lain. Saat ada transaksi masuk harus mengirim pesanan melalui kurir yang hanya terdapat di Kota Rangkasbitung. Jarak yang ditempuh cukup jauh, dari Ciboleger ke Rangkasbitung kurang lebih 40 km. 

Usai Pandemi, Harus Bangkit dan Semangat Lagi

Pada pandemi tahun 2020 lalu, Baduy Craft ikut terdampak yang menyebabkan penjualan turun. Narman menyadari produknya bukan produk yang bisa digunakan sehari-hari, hingga akhirnya dalam beberapa waktu ia beralih menjual gula aren khas Suku Baduy. “Saat pandemi, (penjualan) anjlok. Nggak ada pameran juga,” kata Narman.

Setelah pandemi, pelan-pelan tapi pasti ia harus bangkit dari masa keterpurukan. Tetap menjalankan rencana yang telah disusunnya, karena kehidupan harus terus berkelanjutan. Narman menyadari bahwa tantangan dalam sebuah usaha tiap tahun selalu berbeda. Namun, berbekal semangat, ia menyakini akan ada hasilnya suatu saat nanti.

“Pada intinya, sih, ketika terjadi apapun itu semangat aja. Ya, namanya usaha ada kalanya bangkrut, ada kalanya kita mungkin kesusahan. Pada intinya kita tetap semangat dan sabar, ya namanya usaha pasti ada hasil,” ungkap Narman 

Semangat jadi Modal Utama Narman Mempertahankan Usaha 

Narman saat meraih penghargaan dari Satu Indonesia Award Asta 2018. Sumber foto: Instagram @ayahriann

Hampir delapan tahun Narman telah memulai usaha mengembangkan produk lokal kerajinan tangan agar dapat menjangkau seluruh Nusantaara. Delapan tahun penuh perjuangan dan layak mendapatkan apresiasi berkat membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat adat.

Apresiasi dari Astra SATU Indonesia Award yang diperoleh pada tahun 2018 memberikan dampak positif terhadap kehidupan Narman dan masyarakat adat. Langkahnya semakin terbuka lebar, meskipun kian hari tantangan semakin berat. Tak hanya dari algoritma media sosial yang selalu berkembang dan membuatnya senantiasa belajar, tetapi juga persaingan produk di media sosial sesama masyarakat Baduy semakin ketat. Namun Narman percaya bahwa dengan memiliki tekad dan semangat bakal ada solusi di setiap tantangannya.

Bahkan harapan kedepannya, tak hanya menjual souvenir atau produk kerajinan tangan saja. Dengan melihat berbagai potensi Suku Baduy, Narman berharap dapat membuat paket wisata ke Baduy yang melibatkan lebih banyak masyarakat adat agar kesejahteraan ekonomi meningkat.

“Tak hanya jual souvenir untuk menarik pengunjung, rencana bikin paket wisata yang melibatkan masyarakat adat.” Ucap Narman dikutip dari Zoom Meeting bersama GNFI Academy. ***

Sumber:



Post a Comment