Resensi Buku Atheis Karya Achdiat K. Mihardja 'Berhati-Hatilah Ketika Mulai Membaca, Perkuat Kadar Imanmu dengan Segera'

Screenshot_2017-06-18-20-33-58-1

Judul: Atheis

Penulis: Achdiat K. Mihardja

Penerbit: PN Balai Pustaka

Cetakan: ketujuh, 1981

Senjata utama adalah kata-kata, adalah pemicu konflik yang dihadirkan secara sengaja, begitulah gambaran dari novel ini. Sosok Hasan sebagai tokoh utama menjadi korban dari orang yang dianggapnya tahu, selalu bisa terpengaruh oleh suatu pemahaman yang meyakininya. Konflik yang dibuat dalam alur cerita bermula dari sosok Hasan yang begitu rapuh dam mudah terpengaruh.

"... kepatuhan jiwanya disebabkan oleh kata-kata pula." (Bagian xiii)

Tokoh Rusli menjadi sosok paling berpengaruh dalam kehidupan Hasan. Selain itu ada tokoh Kartini, janda dari lelaki tua Arab; Anwar, seniman anarkis putra dari seorang bupati, Raden Wira dan istri, sosok ayah dan ibu Hasan yang ikut berperan di awal dan akhir cerita, serta tokoh saya yang barangkali adalah penulisnya sendiri.

Membaca novel ini bermula dari pengaruh seseorang, setelah sebelumnya buku yang berjudul 'Lowongan Tuhan' telah habis dibaca beberapa bulan lalu. Sebenarnya masih ada lanjutan dari lowongan Tuhan, yaitu buku yang berjudul Avatar namun karena masih tersesat keberadaanya, maka novel Atheis ini yang dipinjamkannya.

Berhati-hatilah ketika mulai membuka lembar pertama, memulai perkuat kadar imanmu secara perlahan adalah cara terbaik untuk mengikuti setiap alur cerita agar setidaknya kita memiliki benteng atau pertahanan diri dari setiap kalimat yang tertulis srcara mengalir dan penuh makna. "Hati-hati terpengaruh ...." begitulah pesan singkat yang tertulis di lembar awal, barangkali tulisan dari pemiliknya.

Membaca novel Atheis hingga rampung seolah diajak bermain-main dengan point of view (POV) atau sudut pandang orang pertama yang diperankan oleh tokoh saya. Selain itu di beberapa bagian novel ini memakai sudut pandang orang ketiga dengan nama tokoh. Ketika memulai POV pertama seolah pembaca diajak ikut berperan dalam isi dan konflik cerita, seolah cerita tersebut dialami sendiri oleh penulisnya.

Hasan adalah penganut agama yang kuat bisa dibilang fanatik karena semenjak kecil dilahirkan dan tumbuh dalam lingkungan agamis. Namun, sejak Hasan pindah ke kota untuk bekerja, berjauhan dengan orang tua di kampung halaman, keyakinannya mulai goyah perlahan ketika suatu hari bertemu dengan teman masa kecilnya--Rusli. "Dengan cara yang selalu disertai senyuman, orang mudah dibikin yakin daripada dengan cara yang mendesak-desak dan kasar."(Hal 68) begitulah cara Rusli mempengaruhi Hasan yang semula berniat ingin membuat Rusli tobat dan insyaf.

"Bukanlah agama meliputi hidup, melainkan hidup meliputi agama. Seperti pula halnya hidup meliputi politik, ekonomi dan sebagainya." (Hal 74)

"Apalagi ketika Rusli menguraikan bahwa agama dan Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, hasil/akibat dari sesuatu keadaan masyarakat yang tidak sempurna, yang penuh dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi." (Hal 72)

Beberapa percakapan antara Hasan dan Rusli yanv tidak seluruhnya diterima oleh Hasan, inhin menolak mentah-mentah apa yang dijelaskan Rusli, meski batinnya memang tidak menyetujui tapi logikanya membenarkan apa yang dikatakan Rusli bisa dinalar oleh akal dan pikiran.

***

Hasan bukanlah seorang pencari yang baik, begitulah yang dituturkan tokoh saya. " Dia seorang pencari dan sebagai seorang pencari maka ia selalu terimbang-ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Baginya cukup sudah kalau dalam mencari itu banyak bertanya-tanya kepada orang-orang yang dianggapnya lebih tahu daripada dia. Begitulah kesan kalau dia bukanlah seorang pencari yang baik." (Hal 13)

Membaca novel Atheis akan lebih sering menemui kata kapitalisme, borjuis dan feodalis yang memang sesuai dengan situasi politik yang bergejolak saat itu. Rusli dan anwar, penganut paham Marx yang menentang keras Feodalisme dengan terang-terangan. Anwar adalah sosok seniman anarkis yang memiliki kepribadian teguh. Suatu haru kebencian semakin bertambah saat Anwar ikut dengannya pulang ke kampung halaman.

"Dalam lingkungan pergaulan dengan Bung Rusli, Kartini dan kawan-kawan lain tidak pernah sembahyang. Tapi sekarang dengan mendadak kau tiba-tiba menjadi orang alim, menjadi soleh oleh karena aku berada di lingkungan orang-orang alim. Mana pendirianmu? itulah yang kusebut sandiwara dengan diri sendiri. Mengelabui mata sendiri. tidak setia pada pendirian sendiri. Oportunis, sebab selalu mau tiru-tiru orang lain saja, selalu mau menyesuaikan diri kepada keadaan lingkungan sekalipun lingkungan itu bertentangan dengan pendirian sendiri...." (Hal 137)

***

" Kita bisa mengucapkan usali sampai awesalam, bisa membungkuk, bersujud, akan tetapi apa faedahnya kalau kita tidak mempunyai pedoman untuk menempuh jalan yang paling dekat dan paling benar untuk sampai kepada tujuan kita." (Hal 17)

Begitulah awal mula orang tua Hasan mulai belajar inti dari sareat, tarekat, hakekat dan makrifat dari seorang tamu Banten yang sudah berhaji.

" ... seorang ateis tidak percaya kepada adanya Tuhan. Jadi, dengan sendirinya ia menyangkal akan adanya hukum-hukun Tuhan, baik yang berupa rahmat dan anugerah maupun yang berupa siksaan." Di akhir cerita Hasan yang telah diduga menjadi atheis ternyata tak ingin dibilang atheis meski dirinya telah terpengaruh kuat dengan omongan Rusli yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

Begitulah sekiranya gambaran sekilas dari novel atheis. Ucapkan bismillah ketika mulai membuka lembar pertama, kuatkan niat dan keyakinan yang taat tak lupa pertebal iman sebelum terlambat. Hihihi 😁😁 Selamat menikmati.

Hangudi, 09 Mei 2017

Post a Comment