Judul : H.B Jassin 70 Tahun
Editor : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Gramedia
Cetakan : Pertama, 1987
Tebal : 247 halaman
ISBN : 979-403-154-2
Aroma buku lama begitu terasa saat kupilih dari rak-rak buku yang berjejar rapi di perpustakaan Bung Karno. Warna kertas yang buram dan sedikit lebat coklat di bagian tepi menjadi ciri khas utama.
Buku yang berjudul “H.B Jassin; 70 tahun” merupakan kumpulan karangan yang diterbitkan sebagai bingkisan atau kado untuk beliau sebagai rasa penghormatan dan terimakasih atas perhatian yang sungguh-sungguh dalam dunia kesusastraan Indonesia. Di usia 70 tahun seperti menjadi saksi bahwa sekitar 50 tahun lamanya eksis dan khusyuk menekuni dunia sastra.
Terdiri 14 sastrawan, budayawan dan cendekiawan yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini. Dibagi menjadi tiga bagian, yang dikelompokkan sesuai dengan pengalaman, kedekatan ataupun peran mereka dalam dunia sastra dan menghubungkan H.B Jassin di dalamnya.
Tulisan pertama dibuka oleh Mochtar Lubis yang masih menjalin keakraban saat itu. Diawali dari mengenalkan kepribadian H.B Jassin, saat pertama kali berkenalan, penggalan pengalaman lalu menjalin keakraban membicarakan budaya dan seni ataupun tentang kehidupan,
“Orangnya sederhana, tak hendak menonjolkan diri, tak suka sok-sokan, tak senang petantang-petenteng, dan jika harus berbicara tentang diri sendiri, maka dia lebih suka mengecilkan makna dari yang sebenarnya …” (Hal 3)
Ali Audah yang berprofesi sebagai penerjemah dan sastrawan ini juga mengungkapkan H.B Jassin yang memiliki kepribadian keras dan lembut, orang yang rendah hati dan taku suka gengsi, setelah sebelumnya dikenal pendiam. H.B JAssin bisa dibaca Hans Bague atau Hamzah Bague, namun ketika MTQ NAsional XIII H.B telah berubah dan dinobatkan dengan sebutan Hidayat Buya Jassin.
Peran penting dalam menyikapi budaya dan politik H.B Jassin saat pencetusan Manifes Kebudayaan juga diikut sertakan dalam tanggapan Wiratmo Seokito di tahun 1963. “Visi politik seorang seniman atau sastrawan atau budayawan tidak dengan sendirinya mencerminkan visi kulturalnya. Visi politik seorang budayawan itu naif, sebagaimana visi kultural seorang negarawan.”
Seorang budayawan membiarkan kenaifannya diperhatikan orang, sedangkan seorang negarawan tidak membiarkannya, dan marah kalau kenaifannya diperhatikan orang. Hal itu justru karena seorang budayawan dalam kenaifannya tahu malu, sedang negarawan dalam kenaifannya tidak tahu malu. (Hal 25)
Sebagaiman dituliskan H.B Jassin dalam pengantarnya angkatan 66, “sebagaimana chairil anwar berontak terhadap penjajahan Jepang dalam tahun 1943 dengan ‘Aku ini binatang jalang dari kumpulan terbuang’, kita pun sekarang menyaksikan satu ledakan pemberontakan penyair, pengarang dan cendekiawan yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak wajar dan tidak sesuai kepribadian sebuah bangsa.” Begitulah H.B Jassin dalam sikapnya berpolitik yang tetang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, dan kepercayaannya kepada sastra sangat kuat.
Selanjutnya ada Hazil Tanzil yang menuliskan tentang perkembangan sastra Indonesia hingga awal orde baru dalam peran H.B Jassin. Bagian pertama terdiri dari empat tulisan yang dikelompokkan karena kedekatan dan perkembangan situasi politik dan budaya dalam kesusastra an Indonesia.
Bagian kedua terdiri dari sembilan tulisan, yaitu; Budi Darma, tulisannya berjudul Bukan Sekedar Monumen; ada juga Putu wijaya yang menuliskan tentang bagaimana sebuah proses itu berjalan; E.U Kratz tentang data statistik daerah asal pengarang Indonesia; Dick Hartono tentang bagaimana keindahan alam bisa menjadi sumber inspirasi dan bisa diserap dalam kaitannya di dunia sastra.
A.A Navis tentang pengaruh Minangkabau dalam kesusasteraan Indonesia; Henri Chambert-Lor, Hikayat Nahkoda Asyik; jalan lain ke Roman; Muhammad bin Haji Salleh, Puisi Mutakhir Indonesia 1975-1983; A. Teeuw, Dari Jan Smees ke Si Jamin dan Si Johan dan bagian kedua ditutup oleh Ajip Rosidi yang mengulas tentang Mantera dan puisi yang Mantera.
Bagian ketiga berisi tentang penjelasan singkat mengenai pusat dokumentasi Sastra H.B Jassin dan tentang cara pengolahan bahan dokumentasi oleh Sulistyo Basuki. Dengan kehadiran buku ini diharapkan sastra Indonesia tetap bertahan dalam gempuran budaya-budaya yang masuk ke Indonesia.
Serta bisa menginspirasi orang-orang terutama anak-anak muda untuk lebih mencintai buku daripada mencintai yang tidak pasti. #Eakk. Semoga dengan buku ini doa-doa akan senantiasa meluncur menuju Pak H.B Jassin yang sudah tenang di sana.
***
Hari Depan, 26 April 2017. 12.02
Posting Komentar