“Demi segala-Nya, hanya memintamu turut mengenang.
Agar kita sepakat mengingat, disaat saling jauh.”
Rasa rindu itu menjelma doa-doa agar lekas bersatu, begitulah yang kurasakan ketika mulai menjalani kesepakatan saling menjauh. Kesepakatan untuk menyiapkan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, menyiapkan segala hal agar bisa bersatu dengan segala restu. Awal kesepakatan itu diawali Bulan Desember 2017, selepas wisuda S1.
Awal tahun 2018, adalah awal mula kisah cinta dan rasa rindu itu harus diperjuangkan. Ia memilih tanah rantau sebagai salah satu cara menyiapkan diri menjadi pribadi dan sosok imam yang diharapkan, sedangkan aku memilih kesunyian pesantren sebagai jalan menyiapkan menjadi perempuan yang lebih lembut dari sebelumnya.
Ada keanehan memang ketika aku memilih pesantren salafiyah sebagai pilihan selepas lulus kuliah. Banyak cibiran dan umpatan karena sebenarnya bekerja selepas kuliah adalah harapan bagi orang-orang. Tapi, apalah dayaku yang sadar diri kurang ilmu agama.
Saat itu ia bekerja di tanah rantau, beda provinsi. Di Kota Bandung, Jawa Barat, sedangkan aku di Kota Blitar, Jawa Tmur. Jadi, kapan kami bertemu sedangkan di pesantren tidak diperbolehkan membawa ponsel, dan suami pun jarang pulang ke kampung halaman karena kesibukan. Meskipun pulang, tak selalu bisa bertemu denganku yang tak sembarangan diperbolehkan pulang.
Perjuangan itu masih panjang, sebab kerinduan itu sebenarnya terbentuk dari doa-doa dan rasa sesak mengingat kenangan saat pertemuan. Hingga pada akhirnya, kami memutuskan saling berkomunikasi melalui buku harian. Aku menulis apapun yang dirasakan melalui buku yang dibelikan suami.
Menulis di saat jaga malam, di sela-sela ngaji kitab sebagai pengusir kantuk, ataupun ketika sesaknya rindu mengundang air mata ingin bertemu. Lalu ketika sudah penuh akan kutitipkan kepada keluarga saat menjengukku di pesantren. Suatu kali ketika aku tak bisa pulang, ada buku harian sebagai pengobat kerinduan.
Ia pernah berkata,
“Jadi ya, ketika aku rindu setidaknya aku harus memperbaiki diri agar pantas buat bersanding dan bilang rindu itu ke kamu selamanya, sampai bisa dipertanggungjawabkan. Ya nanti saat kita menikah.”
Saat itu membaca pesan singkat darinya membuatku terdiam cukup lama. Aku yang benar-benar ingin melepas rasa rindu itu dengan pertemuan, tetapi pesannya selalu saja datang dengan ketenangan. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang sengaja dihadirkan diam-diam.
Sedangkan bagaimana kisahnya di tanah rantau? Seperti halnya tanah rantau selalu menyimpan godaan yang lebih menggiurkan. Dari perempuan-perempuan cantik yang sengaja menggoda, kemewahan selalu menyapa setiap pagi, hingga jenjang karir menggiurkan sengaja ditawarkan agar melepasku begitu saja.
Lalu bagaimana pada akhirnya? Pada akhirnya selepas dua tahun di tanah rantau dan kesunyian pesantren, kami berhasil melaluinya dengan berbagai kemewahan, kesunyian, pikiran-pikiran buruk, cibiran orang-orang, hingga sesaknya rindu karena nyaris tak ada pertemuan dalam setahun. Kami bisa melaluinya karena memiliki komitmen untuk tetap saling setia, saling memahami dan saling memberi pengertian.
Kisah ini sebenarnya hanya sederhana, hanya seputar jarak yang jauh dari tanah rantau dan kesunyian pesantren di kampung halaman. Tapi ada kesepakatan untuk tetap saling bersama dan memahami satu dan lain hal adalah kunci paling utama dalam menjalin hubungan.
Terimakasih sempat membaca secuil kisah ini yang pernah kami jalani di tahun 2018 dan 2019, saat jarak yang jauh hanyalah awal mula untuk saling menguatkan. ***
(28 Februari 2022)
Posting Komentar